Oleh-oleh BIMTEK LAM Infokom
- Written by Evi Yuliana
- Published in Artikel
- Permalink
Oleh: Rahman, S. Kom., MT.
Jika dosen prodi telah melaksanakan pengabdian dengan sasaran penikatan skil guru ke sekolah-sekolah dan berhasil meningkatkan kemampuan pengajaran guru, apakah dalam hal ini program studi dan dosennya boleh dikatakan telah memberikan manfaat dan layak mendapatkan penilaian positif oleh asesor untuk mendapatkan predikat unggul?
Hal lain, dalam penilaian Beban Kerja Dosen (BKD), laporan BKD dosen ditolak dengan catatan koreksi mempertanyakan: Mahasiswa A mendapat nilai Lulus sedangkan kehadiran hanya 2 kali, dan setersunya.
Contoh pengabdian dan komentar penilaian BKD tersebut adalah ilustrasi dari kasus real. Sebelumnya seperti ada kesepakatan bahwa pengabdian pada kasus di atas sangat bagus dan sudah sejalan dengan visi prodi. Sedangkan contoh catatan penilaian BKD memang terasa janggal. Hanya saja, jika kita mengacu pada petunjuk orientasi mutu LAM Infokom, maka baik pengabdian maupun catatan penilain BKD tersebut bisa bernilai nihil alias Tidak Bermanfaat bagi prodi. Ini pasti menimbulkan tanda tanya alasannya. Menjawab hal itu, kita akan mencoba memahami penilaian akreditasi LAM Infokom dengan sistem 9 standar. Selanjutnya kita hanya akan sebut secara singkat dengan istilah akreditasi.
Berbeda dari sistem borang sebelumnya, akreditasi kini menganut prinsip PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, Peningkatan) serta berorintasi pada mode OBE (Output Based Education). Termanya lumayan rumit tapi pemahaman teknisnya sebenarnya sederhana.
OBE dalam sistem akreditasi bukanlah tentang cara teknis melakukan sesuatu. Bukan tentang cara mengajar, bukan juga tentang alat pengajaran, pun bukan tenang apa-apa dalam hal dosen dan pelaksanaan pengajarannya. Jadi OBE tidak menetapkan suatu bentuk kreativitas, atau membatasi. TAPI OBE diadopsi dalam pengertian bahwa: 52% penilaian akreditasi ADALAH penilaian OUTPUT pembelajaran. Komponen OUTPUT ini adalah pada huruf E dari PPEPP, yaitu tahap evaluasi.
Ini berarti bahwa prodi harus benar-benar memperhatikan komponen Evaluasi untuk mendapatkan penilaian sangat baik atau unggul. Namun yang perlu dicatat bahwa PPEPP untuk penilaian mutu dirancang LAM Infokom untuk memastikan bahwa tidak ada lagi BORANG (bohong dan ngarang) dalam dokumen akreditasi. Sehingga variabel penilaian dalam tahap Evaluasi benar-benar didesain hanya mungkin BENAR jika P yang lain terlaksana. Dengan kata lain, mustahil membuat dokumen Evaluasi jika P yang lain (Penetapan, Pelaksanaan, Pengendalian, Peningkatan) tidak pernah terlaksana.
Sebagai contoh: Salah satu poin Evaluasi adalah persentasi ketercapaian Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) pada lulusan. Untuk mendapatkan nilai ini, kita perlu tahu distribusi CPL pada semua Mata Kuliah (MK), bisa lebih dari satu MK. Untuk setiap MK, nilai capaian CPL dihitung dari CPMK (Capaian Pembelajaran MK) yang diturunkan dari setiap CPL. Apakah sudah selesai dengan turunan CPMK? Belum. Menurut panduan kurikulum LAM Infokom, nilai MK dihitung dari Sub CPMK, sehingga CPMK tetap diturunkan lagi menjadi Sub CPMK. Ini akan semakin rumit jika beberapa MK saling terkait menurut hubungan 2 atau lebih CPL.
Jika paragraf di atas terasa rumit, pengertian mudahnya adalah RPS harus tersedia sebelum semester berjalan. RPS tidak disusun sesuai keinginan individu dosen, tapi disusun bersama tim prodi sebagai satu-kesatuan pengejawantahan target pencapai CPL. Demikian pula angka-angka persentasi distribusi CPL pada tiap MK telah menjadi maklumat setiap dosen, sehingga ini menjadi target saat pelaksanaan pengajaran. Jadi tahap Penetapan RPS, Pelaksanaan RPS adalah KOENTJI.
Demikian pula halnya dengan Pengabdian masyarakat. Pengabdian dan Penelitian di Evaluasi berdasarkan tahap Penetapan dan Pelaksanaan. Tahap Penetapan baik rencana Penelitian maupun Pengabdian haruslah dirumuskan sebagai turunan dari Visi Misi Prodi. Karena itu dari sini kita paham, kegiatan pengabdian yang mungkin bermanfaat dalam kaca mata customer, tapi bernilai nihil alias tidak bermanfaat menurut tolak ukur berpikir PPEPP, dan tidak bisa dipertanggung jawabkan pada tahap evaluasi. Dari sinilah diturunkan pemikiran dasar bahwa prodi harus memiliki Peta Penelitian dan Peta Pengabdian yang harus melalui tahap Penetapan sebelum pelaksanaan. Di sini, kerja TERTIB dan SISTEMIK adalah KOENTJI.
Pemahaman komprehensif tentang proses akreditasi yang sebenarnya bertujuan mulia yakni menjamin mutu pendidikan institusi, harus dimilki oleh lembaga penjamin mutu internal tingkatan perguruan tinggi. Sebab Penjamin Mutu Internal inilah nantinya yang dapat mengoptimalkan pengawasan mutu internal agar selaras dengan akreditasi PPEPP. Sehingga komentar atau catatan koreksi yang tidak subtansial seperti pada contoh di awal tulisan ini tidak perlu dipersoalkan. Sebaliknya mendorong bahkan kalo perlu mewajibkan hal-hal subtansial yang memang wajib ada dalam menjamin mutu sesuai prnsip PPEPP. RPS dan kerangka Evaluai pencapaian CPL misalnya sesuatu yang sangat urgent dalam PPEPP, sayangnya dalam instrumen BKD tidaklah ‘memaksa’ dosen menyiapkannya.
Tulisan ini bukan dalam rangka menggurui atau mengkritik. Juga bukan dalam rangka mempersulit diri dengan memancing kebijakan menambah item beban dosen, tapi mencoba menkomunikasikan ide bahwa: Instrumen BKD internal bisa dimaksimalkan agar selaras dengan PPEPP akreditasi. Itu!